Mendengar kata sekolah, apa yang ada di benakmu wahai
pembaca sekalian. Suatu bangunan, yang
terdapat kumpulan kelas kotak, dengan 20 meja dan 40 kursi di dalamnya? Suatu
tempat dimana seseorang menghabiskan sebagian waktu hidupnya untuk belajar atau
mengkaji sesuatu? Ya, pada umumnya
sekolah adalah suatu lembaga, suatu organisasi besar, dengan segala kelengkapan
perangkatnya, dengan serangkaian jadwal terikat dan aturan tertentu, dan
lainnya.
Padahal
(baca : ironisnya), kata sekolah berasal dari bahasa Latin, yaitu schola, yang berarti
“waktu luang”. Hhmm… Bagaimana sebenarnya sekolah tercipta?
Alkisah,
orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan berkumpul di
suatu tempat, dengan maksud memenuhi dahaga
keingintahuan mereka yang dirasa
perlu. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolae
atau schola. Keempatnya mempunyai arti yang sama yaitu waktu luang yang
digunakan secara khusus untuk belajar.
Lama
kelamaan, kebisaaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak
lagi semata-mata jadi kebisaaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan
keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebisaaan itu juga kemudian diberlakukan
bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang diharapkan nantinya
dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang
kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka
pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya.
Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara
menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat
dimana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa
bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang
patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali
ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.
Waktu
terus berlalu. Para orangtua makin terbiasa mempercayakan kepada orang-orang
atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah tersebut, dalam
jangka waktu yang semakin lama dan dengan pola yang semakin teratur pula.
Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih
banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh
anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang
lebih tertib dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak
itu. Adalah seorang John Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian
dianggap sebagai fons et erigo nya ilmu pendidikan (tepatnya: teori
pengajaran), yakni kitab Didactica Magma, melontarkan gagasan pelembagaan
pola proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis. Melanjutkan
tradisi Comenius, adalah seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich
Pestalozzi, pada abad-18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Orang ini
melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara
berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut
“pelajaran”) yang harus mereka lalui secara betahap. Juga pengaturan tentang
cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut
batasan-batasan khas dan terbaku. Upaya ini, akhirnya menjadi cikal-bakal pola
pengajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan perjenjangan
kelas dan tingkatannya.
No comments:
Post a Comment