Sekolah dan Sejarahnya

December 31, 2015
Mendengar kata sekolah, apa yang ada di benakmu wahai pembaca sekalian. Suatu bangunan,  yang terdapat kumpulan kelas kotak, dengan 20 meja dan 40 kursi di dalamnya? Suatu tempat dimana seseorang menghabiskan sebagian waktu hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu?  Ya, pada umumnya sekolah adalah suatu lembaga, suatu organisasi besar, dengan segala kelengkapan perangkatnya, dengan serangkaian jadwal terikat dan aturan tertentu, dan lainnya.
                Padahal (baca : ironisnya), kata sekolah berasal dari bahasa  Latin, yaitu schola, yang berarti “waktu luang”. Hhmm… Bagaimana sebenarnya sekolah tercipta?
                Alkisah, orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan berkumpul di suatu tempat, dengan maksud memenuhi dahaga  keingintahuan mereka  yang dirasa perlu. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya mempunyai arti yang sama yaitu waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.
                Lama kelamaan, kebisaaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebisaaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebisaaan itu juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.

                Waktu terus berlalu. Para orangtua makin terbiasa mempercayakan kepada orang-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah tersebut, dalam jangka waktu yang semakin lama dan dengan pola yang semakin teratur pula. Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu. Adalah seorang John Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et erigo nya ilmu pendidikan (tepatnya: teori pengajaran), yakni kitab Didactica Magma, melontarkan gagasan pelembagaan pola proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis. Melanjutkan tradisi Comenius, adalah seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestalozzi, pada abad-18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Orang ini melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut “pelajaran”) yang harus mereka lalui secara betahap. Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku. Upaya ini, akhirnya menjadi cikal-bakal pola pengajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan perjenjangan kelas dan tingkatannya. 

No comments: