“Kamu kalau besar nanti mau jadi apa?”
“Apa saja Bu, yang penting berguna demi nusa dan bangsa!”
“Apa saja Bu, yang penting berguna demi nusa dan bangsa!”
Seseorang akan dianggap penting jika ia dikenang oleh orang
lainnya. Tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya, tapi apa yang
ia lakukan demi semua orang – itulah yang membuat seseorang menjadi “penting”.
Ilmu, pengalaman, dan semangat kuat
adalah kunci-kunci untuk berhasil. Kita semua tahu dengan jelas hal-hal
itu. Sekarang, mari kita bandingkan dengan fungsi sekolah: membantu
para siswanya mencapai keberhasilan (katanya). Dari dua fakta itu, mari
kita simpulkan:
Sekolah
Semestinya Mengajarkan Ilmu, Pengalaman, dan Semangat.
Ok, ok, saya tahu bahwa sekolah memang mengajarkan hal-hal
ini. Tapi itu kan secara teoritis. Tidaklah adil jika saya langsung
menuduh sekolah mengajarkan ketiga hal tersebut. Tapi mari saya teliti satu per
satu.
Ilmu –ilmu
sering tidak dianggap; yang dianggap adalah nilai. Saya rasa itu sesuatu
yang tidak adil. Memang, segala sesuatu harus bisa diukur dengan suatu cara,
untuk dibandingan. Tapi ilmu itu relatif. Saya bisa saja jago matematika
tapi kemampuan Biologi saya amburadul. Dan jika hal itu terjadi, maka saya
bisa jadi tidak lulus SMA. Ironiskah hal itu, bahwa kami terpaksa
menjalani kemampuan secara bercabang, demi sekedar lulus, yang mungkin
akan dilupakan saja setelah tuntas ulangan?
Ambil saja, Ujian Nasional kelas tiga SMA. Saya seorang
murid IPA – aha, sudah ada kemajuan sedikit di sini. IPA dan IPS telah dipisah.
Tapi tetap saja, dalam IPA, saya akan diuji 6 pelajaran: matematika,
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, biologi, kimia, dan fisika. Saya akan
pisahkan Bahasa Inggris, karena saya anggap bahwa pelajaran itu cukup
diperlukan, sehubung dengan globalisasi. Tapi lihatlah yang lain. Dengan
diujinya semua pelajaran itu, saya dituntut untuk menjadi seorang matematisi, sastrawan, dokter,
peneliti kimia, dan insinyur secara bersama-sama. Gila!!!!
Pengalaman –
kelihatannya sederhana. Memang, pengalaman itu akan datang dengan sendirinya,
bahkan tanpa diundang. Dengan sekedar hidup, kita memperoleh pengalaman, saya,
lagi-lagi, akan mempertanyakan sekolah dalam hal ini. Dengan otak berisi
pelajaran dari pukul 4 pagi hingga 5 sore (di sekolah saya), dan mata yang
seharian pun tidak dapat melihat matahari (lebay…. ).
Ini menyisakan sedikit sekali waktu untuk mencari
pengalaman lain, bagi hal yang saya anggap penting. Misalkan saja. Saya
seorang programmer. Teman saya ada yang komikus, penari balet, penulis novel,
fotografer… Berapa waktu lagi yang tersisa untuk pengalaman yang kita tahu
sebenarnya akan berarti bagi kehidupan kita? Inilah mengapa yang disebut “hobi”
hanya tinggallah hobi – dan juga mengapa sastrawan atau pelukis sering dianggap
rendah (kecuali ia bisa menghasilkan uang banyak).
Karena itu, harusnya sekolah dapat menutupi kekurangan
pengalaman itu. Dan itu ditutupi dengan apa? Berjam-jam duduk di depan meja,
mencatat, mengerjakan soal, dan menggapai nilai yang setinggi-tingginya?
Sekolah dapat melatih seorang murid untuk menghitung integral dari suatu
penjabaran matematika panjang lebar, tapi ia tetap tidak akan tahu cara
mengatur keuangan pribadinya dengan baik. Mau dari mana pengalaman kita?
Semangat –
saya setiap hari bahagia sekali datang ke sekolah. Tapi saya tidak pernah
berjalan masuk sekolah dengan pikiran “asik, hari ini saya akan diajari cara
menghitung muatan partikel yang bergerak dari satu ujung kabel ke ujung lain
dan dipengaruhi sebuah magnet”. Tentu tidak. Yang saya pikir adalah “asik, bisa
bertemu teman-teman. Saya mau cerita tentang kejadian tadi malam“.
Penutup
Saya senang dengan lingkungan sekolah. Senang dengan sahabat
saya. Senang akan kebersamaan itu, dan senang berbincang dengan guru. Tapi
bukan untuk belajar. Saya tidak punya semangat untuk itu. Ada dua
kemungkinan masalah: apakah saya yang tidak termotivasi, atau ini masalah
dengan sistem sekolah? Saya bisa tanya setiap teman saya, apakah yang ia
harapkan dengan ilmu yang dipelajari setiap hari. Hampir semuanya akan menjawab
“agar saya dapat lulus, kemudian masuk Universitas / fakultas yang
saya inginkan“. Anda lihat satu pola di sini?
No comments:
Post a Comment