Bagian
I disini.
Bagian
II disini.
Setelah insiden cireng dan bus
gratis, kami memutuskan ke Istiqlal dengan KRL. Saat sudah masuk ke stasiun dan
bersiap-siap tap-in, saya baru sadar kalo kartu multi-trip saya hilang(entah
hilang atau saya lupa naruh dimana). Saldonya sih gak terlalu banyak(dibawah
20ribu/15 malah) , tapi harga beli kembali kartunya itu yang relative mahal
buat kantong pelajar seperti saya yang saya sesalkan. Yaudah, sembari kartunya
belum ketemu, terpaksa saya beli kartu THB dengan tujuan St. Juanda. Menunggu
sekamir 10 menit, KRL tersebut akhirnya berangkat. Jarak dari St. Jakarta Kota
sampai St. Juanda yang hanya berkisar 4-5 KM membuat perjalanan hanya
membutuhkan waktu 15 menitan.
***
Tiba di St. Juanda dan keluar
dari pintu Selatan, Masjid Istiqlal langsung terlihat lengkap dengan rute ke
sana yang melalui sebuah jembatan penyebrangan. Turun dari jembatan
penyebrangan, kami langsung masuk dari pintu terdekat. Berjalan sesaat, Tio
melihat papan bertuliskan “Jamaah masuk lewat pintu al-fattah” yang menunjuk ke
bagian Timur dari pintu masuk kami tadi. Tapi, di dekat saya di sebelah pintu
bernomor 23 ada tulisan sama persis, tapi menunjuk ke arah sebaliknya. Setelah
berunding sesaat, kami berjalan mengikuti arah Barat. Ternyata, papan pertamalah
yang benar, yang kemudian membuat kami harus berjalan berevolusi(read
:mengelilingi) Istiqlal 270 derajat sampai pintu Ar-Razzaq yang ternyata bisa
dimasuki juga. Jam menunjukkan pukul 15.50, yang artinya azan Ashar udah
lumayan lama lewat. Setelah tidur-tiduran ‘sebentar’ , saya baru mengambil air
wudhu jam 16.30an. Sholat. Jam 16.50 an urusan spiritual selesai. Saatnya
melanjutkan petualangan. Dari Istiqlal,
terdapat dua pilihan : monas dulu atau Katredal dulu. Setelah berdiskusi yang
terpilih adalah Katredal dulu.
***
Sebenernya, saya yang paling
pingin masuk Katredal. Jadi, saya punya target pribadi: “Sebelum lulus SMA,
harus udah pernah berkunjung ke setiap rumah ibadah 6 agama di Indonesia
(Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu). Sampai sekarang, baru
dapat 5 dari 6 tersebut. Pertama yang saya kunjungi, tentu aja Masjid tempat
ibadah Islam lah kwk. Lebih lagi karena saya berasal dari Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, bener-bener kerasa syariat Islamnya, di mana bisa dengar ada
peraturan “cewe kalo duduk dimotor harus nyamping”. Kedua, Protestan, waktu
saya SD, pernah diajak temen ke Gereja deket rumahnya. Karena saya masih SD, ya
biasa aja, waktu itu lagi kosong kalo ga salah. Ketiga, Buddha, yaitu Candi
Borubudur, meskipun saya belum benar-benar dapat feel ritualnya karena
tempat tersebut juga merupakan tempat favorit dari para turis. Keempat, Hindu,
yaitu Candi Prambanan dan beberapa Candi yang lain(lupa). Nah, yang Hindu ini
paling dapetnya waktu saya ikut Study Tour ke Bali kemarin. Kerasa banget,
gimana kalo kalian tinggal di lingkungan mayoritasnya. Di tiap sudut jalan, ada
sesajen, bahkan di dalam hotel ada sesajen, ada polisi syariat Hindu(saya lupa
namanya) yang berjaga setiap malam, dll. Kelima, Khong Hucu dengan tempat
ibadah kelenteng. Dalam perjalanan Study Tour ke Bali, smansa (sekolah saya)
yang menggunakan bis melewati daerah Semarang dulu sambil mengunjungi Kelenteng
Sam Poo Kong yang merupakan bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama
seorang Laksamana Tiongkok yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Nah, sisanya
tertinggal Katolik dengan tempat ibadahnya Katredal. Kemarin, saya
berkesempatan “sedikit” menghilangkan rasa penasaran saya tentang Katolik. Udah
12 tahun lho di Jakarta, udah lebih dari 30-40 kali ‘cuma’ lewat doank di
depannya sambil memendam hasrat buat ke dalam.
Gereja Katedral Jakarta (nama
resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe
ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini
diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni
arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa
abad yang lalu. (Wikipedia Indonesia)
Katredal dapat ditempuh hanya
dengan menyebrangi satu jalan raya dari Istiqlal. Setelah sebentar mencari tata
tertib yang harus dipatuhi, kami berlima pun masuk ke dalamnya. Perasaan gak
enak giamana gitu masih tetap ada. Cuma rasa penasaran saya (dan teman-teman)
lebih besar sepertinya. Nuansa neo-gotik dan arsitektur khas bangunan gereja di
Eropa sangat kental terasa. Dari depan tampakn terdapat tiga puncak menara yang
menjulang tinggi. Sebelah kiri, menara Benteng Daud yang melambangkan
Perlindungan Bunda Maria dari kegelapan.
Sebelah kanan, Menara Gading yang ditandai dengan adanya sebuah jam,
yang melambangkan Kesucian Bunda Maria. Satu lagi, menara yang terletak
ditengah bernama Menara Angelus Dei yang terdapat salib diatasnya. Pada Menara
Angelus Dei, tepatnya di bawah sedikit, terdapat sebuah patung Bunda Maria yang
didekat situ terdapat tulisan “Beatam Me Dicent Omnes Genaerationes” yang
berarti “semua keturunan menyebut Aku bahagia”. Didekatnya terdapat jendela
bercorak Rosa Mystica sebagai lambang dari Bunda Maria yang disebut Rozeta. Di
depan Menara Angelus Dei dan yang juga merupakan pintu masuk ke dalam inilah
orang-orang sering berfoto. Waktu itu, saya melihat rasanya bukan orang Jakarta
sini yang sedang berfoto di depan, dilihat dari mukanya seperti orang
Maluku/Sulawesi yang sedang berkunjung ke Jakarta(mungkin dalam rangka
merayakan Natal dan Tahun Baru).
![]() |
3 Menara Katredal |
![]() | ||
Patung Bunda Maria di pintu masuk
|
Setelah melihat-lihat bagian
tengah, kami berjalan ke bagian kanan Gereja. Terdapat sebuah lorong di sana
yang baru saja di lewati dua orang pemuda (yang nanti diketahui ternyata mereka
Muslim). Bagian kanan Gereja Katredal, hanya terdapat sebuah pintu untuk masuk
ke gedung utama(yang terkunci sepertinya) dan pintu belakang tempat orang-orang
sekitar masuk dari jalan. Agak aneh ketika orang melihat lima pemuda (kami)
berjalan tanpa arah dengan kecepatan yang sangat pelan. Kembali ke halaman
utama, kami hanya berfoto-foto mendokumentasikan keindahan arsitektur bangunan
bersejarah ini.
Saya yang beberapa hari lalu, searching
di internet dari beberapa blog, jadi tau ada sebuah museum yang katanya worth
banget buat dikunjungi di lantai 2 dari Katredal. Setelah bertanya ke petugas
parker, ternyata museum tersebut hanya buka pada hari Senin, Rabu, dan Jumat
pada jam 10.00-12.00. Hhhmm..sangat singkat. Di tambah, saat mengintip ke dalam
gedung utama, umat Katolik sedang melaksanakan Misa, berarti kami datang di
waktu yang kurang tepat (mendekati Hari Natal). Berarti, lain kali saya harus
datang di waktu tersebut, yang mana waktu tersedianya (saya bisa) hanya saat
liburan ini atau setelah SBMPTN nanti. Gagal masuk ke bagian tengah, kami
menyusuri bagian kiri. Hal pertama yang kami temukan adalah sebuah Patung
Burung Garuda lengkap dengan tulisan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Mengingat
kejadian konflik politik berkedok agama sebulanan terakhir membuat patung ini
terasa sangaat bermakna. Di bagian belakang, terdapat Goa Maria. Beberapa
orang, terlihat memohon doa dengan khidmat di situ. Kesimpulan bagi saya, wisata religi ini
terasa kurang lengkap karena belum bisa melihat kondisi di dalam gedung utama
secara langsung dan museum yang ada di lantai dua-nya. Lain kali harus dapet!!
![]() |
Semangat Bhinneka Tunggal Ika! |
![]() |
Goa Maria. Tidak sempat foto. Gambar diambil dari google. |
***
Jam 17.50, kami keluar dari
Katredal, lalu membeli bakpao buat mengganjal perut sambil menonton pertengkaran
seorang ibu dengan tukang parkir. Selesai menonton makan, kami melanjutkan
perjalanan ke monas. Puncak monas memang terlihat dekat, namun rupanya lumayan
jauh buat di tempuh dengan berjalan kaki. Sekitar 400 meter dari Katredal. Sampai
di salah satu pintu, ternyata pintu tersebut terkunci. Alhasil, bertambahlah
100 meter penderitaan kedelapan kaki tersebut (kaki Ijal infinite power).
Seenggaknya, selama ½ kilometer tersebut, kami dapat melihat gedung-gedung
nomor 1 di Indonesia seperti Gedung Kementrian Dalam Negeri, Gedung Kementrian
Perhubungan, Gedung Mahkamah Konstitusi dan yang paling utama Istana Negara.
Suasana langit sore Jakarta dengan paduan warna biru dan orange pun menemani
selama 500 meter tersebut. Jam 18.20an akhirnya sampai monas. Karena sudah
sangat capai, kami hanya duduk saja di depan Monas sembari menikmati Monas yang
awalnya putih disinari warna merah.
![]() |
Merah putih |
![]() |
Suasana Jalan Merdeka |
![]() |
Fotografer |
***
Jam 18.40, kami balik ke St. Juanda dengan
menggunakan dua bajaj berharga Rp20.000. Sampai di stasiun, kami menjalankan ibadah,
lalu makan sebentar. Karena dari St. Juanda, gak banget lah kalo berdiri sampai
St. Debar. Jadi, kami balik ke St. Jakarta Kota dulu(yang ternyata merupakan
pilihan yang salah karena terdapat 2 KRL kosong yang lewat selama perjalanan ke
St. Jakarta Kota). Jam 20.00, kami baru berangkat dari St. Jakarta Kota. Sampai
di St. Depok Baru jam 21 atau 9 malam lewat.
***
Kemarin adalah pembuka liburan
yang cukup worth banget. Thanks buat Kota Tua(dan isinya) dan Katredal
serta Monas buat pengalamannya. Thanks Tio(beberapa foto di sini dari Tio), Ijal(sumber foto di sini dari kamera Ijal), Gibran, Ogy buat petualangannya.
Next, Kinokuniya(abis SBM).
Source :
https://www.facebook.com/profile.php?id=100011072685525&ref=ts&fref=ts
https://www.facebook.com/arditio.riski?ref=ts&fref=ts
Source :
https://www.facebook.com/profile.php?id=100011072685525&ref=ts&fref=ts
https://www.facebook.com/arditio.riski?ref=ts&fref=ts
No comments:
Post a Comment