Bolang Jakarta Bagian III : Istiqlal, Katredal dan Monas

December 14, 2016
Bagian I disini.

Bagian II disini.

                Setelah insiden cireng dan bus gratis, kami memutuskan ke Istiqlal dengan KRL. Saat sudah masuk ke stasiun dan bersiap-siap tap-in, saya baru sadar kalo kartu multi-trip saya hilang(entah hilang atau saya lupa naruh dimana). Saldonya sih gak terlalu banyak(dibawah 20ribu/15 malah) , tapi harga beli kembali kartunya itu yang relative mahal buat kantong pelajar seperti saya yang saya sesalkan. Yaudah, sembari kartunya belum ketemu, terpaksa saya beli kartu THB dengan tujuan St. Juanda. Menunggu sekamir 10 menit, KRL tersebut akhirnya berangkat. Jarak dari St. Jakarta Kota sampai St. Juanda yang hanya berkisar 4-5 KM membuat perjalanan hanya membutuhkan waktu 15 menitan.

***

                Tiba di St. Juanda dan keluar dari pintu Selatan, Masjid Istiqlal langsung terlihat lengkap dengan rute ke sana yang melalui sebuah jembatan penyebrangan. Turun dari jembatan penyebrangan, kami langsung masuk dari pintu terdekat. Berjalan sesaat, Tio melihat papan bertuliskan “Jamaah masuk lewat pintu al-fattah” yang menunjuk ke bagian Timur dari pintu masuk kami tadi. Tapi, di dekat saya di sebelah pintu bernomor 23 ada tulisan sama persis, tapi menunjuk ke arah sebaliknya. Setelah berunding sesaat, kami berjalan mengikuti arah Barat. Ternyata, papan pertamalah yang benar, yang kemudian membuat kami harus berjalan berevolusi(read :mengelilingi) Istiqlal 270 derajat sampai pintu Ar-Razzaq yang ternyata bisa dimasuki juga. Jam menunjukkan pukul 15.50, yang artinya azan Ashar udah lumayan lama lewat. Setelah tidur-tiduran ‘sebentar’ , saya baru mengambil air wudhu jam 16.30an. Sholat. Jam 16.50 an urusan spiritual selesai. Saatnya melanjutkan petualangan.  Dari Istiqlal, terdapat dua pilihan : monas dulu atau Katredal dulu. Setelah berdiskusi yang terpilih adalah Katredal dulu.

***

                Sebenernya, saya yang paling pingin masuk Katredal. Jadi, saya punya target pribadi: “Sebelum lulus SMA, harus udah pernah berkunjung ke setiap rumah ibadah 6 agama di Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu). Sampai sekarang, baru dapat 5 dari 6 tersebut. Pertama yang saya kunjungi, tentu aja Masjid tempat ibadah Islam lah kwk. Lebih lagi karena saya berasal dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, bener-bener kerasa syariat Islamnya, di mana bisa dengar ada peraturan “cewe kalo duduk dimotor harus nyamping”. Kedua, Protestan, waktu saya SD, pernah diajak temen ke Gereja deket rumahnya. Karena saya masih SD, ya biasa aja, waktu itu lagi kosong kalo ga salah. Ketiga, Buddha, yaitu Candi Borubudur, meskipun saya belum benar-benar dapat feel ritualnya karena tempat tersebut juga merupakan tempat favorit dari para turis. Keempat, Hindu, yaitu Candi Prambanan dan beberapa Candi yang lain(lupa). Nah, yang Hindu ini paling dapetnya waktu saya ikut Study Tour ke Bali kemarin. Kerasa banget, gimana kalo kalian tinggal di lingkungan mayoritasnya. Di tiap sudut jalan, ada sesajen, bahkan di dalam hotel ada sesajen, ada polisi syariat Hindu(saya lupa namanya) yang berjaga setiap malam, dll. Kelima, Khong Hucu dengan tempat ibadah kelenteng. Dalam perjalanan Study Tour ke Bali, smansa (sekolah saya) yang menggunakan bis melewati daerah Semarang dulu sambil mengunjungi Kelenteng Sam Poo Kong yang merupakan bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Nah, sisanya tertinggal Katolik dengan tempat ibadahnya Katredal. Kemarin, saya berkesempatan “sedikit” menghilangkan rasa penasaran saya tentang Katolik. Udah 12 tahun lho di Jakarta, udah lebih dari 30-40 kali ‘cuma’ lewat doank di depannya sambil memendam hasrat buat ke dalam.

                Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu. (Wikipedia Indonesia)

                Katredal dapat ditempuh hanya dengan menyebrangi satu jalan raya dari Istiqlal. Setelah sebentar mencari tata tertib yang harus dipatuhi, kami berlima pun masuk ke dalamnya. Perasaan gak enak giamana gitu masih tetap ada. Cuma rasa penasaran saya (dan teman-teman) lebih besar sepertinya. Nuansa neo-gotik dan arsitektur khas bangunan gereja di Eropa sangat kental terasa. Dari depan tampakn terdapat tiga puncak menara yang menjulang tinggi. Sebelah kiri, menara Benteng Daud yang melambangkan Perlindungan Bunda Maria dari kegelapan.  Sebelah kanan, Menara Gading yang ditandai dengan adanya sebuah jam, yang melambangkan Kesucian Bunda Maria. Satu lagi, menara yang terletak ditengah bernama Menara Angelus Dei yang terdapat salib diatasnya. Pada Menara Angelus Dei, tepatnya di bawah sedikit, terdapat sebuah patung Bunda Maria yang didekat situ terdapat tulisan “Beatam Me Dicent Omnes Genaerationes” yang berarti “semua keturunan menyebut Aku bahagia”. Didekatnya terdapat jendela bercorak Rosa Mystica sebagai lambang dari Bunda Maria yang disebut Rozeta. Di depan Menara Angelus Dei dan yang juga merupakan pintu masuk ke dalam inilah orang-orang sering berfoto. Waktu itu, saya melihat rasanya bukan orang Jakarta sini yang sedang berfoto di depan, dilihat dari mukanya seperti orang Maluku/Sulawesi yang sedang berkunjung ke Jakarta(mungkin dalam rangka merayakan Natal dan Tahun Baru).

3 Menara Katredal
Patung Bunda Maria di pintu masuk


Bukti pernah masuk kwk
                Setelah melihat-lihat bagian tengah, kami berjalan ke bagian kanan Gereja. Terdapat sebuah lorong di sana yang baru saja di lewati dua orang pemuda (yang nanti diketahui ternyata mereka Muslim). Bagian kanan Gereja Katredal, hanya terdapat sebuah pintu untuk masuk ke gedung utama(yang terkunci sepertinya) dan pintu belakang tempat orang-orang sekitar masuk dari jalan. Agak aneh ketika orang melihat lima pemuda (kami) berjalan tanpa arah dengan kecepatan yang sangat pelan. Kembali ke halaman utama, kami hanya berfoto-foto mendokumentasikan keindahan arsitektur bangunan bersejarah ini.

                Saya yang beberapa hari lalu, searching di internet dari beberapa blog, jadi tau ada sebuah museum yang katanya worth banget buat dikunjungi di lantai 2 dari Katredal. Setelah bertanya ke petugas parker, ternyata museum tersebut hanya buka pada hari Senin, Rabu, dan Jumat pada jam 10.00-12.00. Hhhmm..sangat singkat. Di tambah, saat mengintip ke dalam gedung utama, umat Katolik sedang melaksanakan Misa, berarti kami datang di waktu yang kurang tepat (mendekati Hari Natal). Berarti, lain kali saya harus datang di waktu tersebut, yang mana waktu tersedianya (saya bisa) hanya saat liburan ini atau setelah SBMPTN nanti. Gagal masuk ke bagian tengah, kami menyusuri bagian kiri. Hal pertama yang kami temukan adalah sebuah Patung Burung Garuda lengkap dengan tulisan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Mengingat kejadian konflik politik berkedok agama sebulanan terakhir membuat patung ini terasa sangaat bermakna. Di bagian belakang, terdapat Goa Maria. Beberapa orang, terlihat memohon doa dengan khidmat di situ.  Kesimpulan bagi saya, wisata religi ini terasa kurang lengkap karena belum bisa melihat kondisi di dalam gedung utama secara langsung dan museum yang ada di lantai dua-nya. Lain kali harus dapet!!


Semangat Bhinneka Tunggal Ika!
Goa Maria. Tidak sempat foto. Gambar diambil dari google.

***

                Jam 17.50, kami keluar dari Katredal, lalu membeli bakpao buat mengganjal perut sambil menonton pertengkaran seorang ibu dengan tukang parkir. Selesai menonton makan, kami melanjutkan perjalanan ke monas. Puncak monas memang terlihat dekat, namun rupanya lumayan jauh buat di tempuh dengan berjalan kaki. Sekitar 400 meter dari Katredal. Sampai di salah satu pintu, ternyata pintu tersebut terkunci. Alhasil, bertambahlah 100 meter penderitaan kedelapan kaki tersebut (kaki Ijal infinite power). Seenggaknya, selama ½ kilometer tersebut, kami dapat melihat gedung-gedung nomor 1 di Indonesia seperti Gedung Kementrian Dalam Negeri, Gedung Kementrian Perhubungan, Gedung Mahkamah Konstitusi dan yang paling utama Istana Negara. Suasana langit sore Jakarta dengan paduan warna biru dan orange pun menemani selama 500 meter tersebut. Jam 18.20an akhirnya sampai monas. Karena sudah sangat capai, kami hanya duduk saja di depan Monas sembari menikmati Monas yang awalnya putih disinari warna merah.

Merah putih

Suasana Jalan Merdeka 


Fotografer


***

                 Jam 18.40, kami balik ke St. Juanda dengan menggunakan dua bajaj berharga Rp20.000.  Sampai di stasiun, kami menjalankan ibadah, lalu makan sebentar. Karena dari St. Juanda, gak banget lah kalo berdiri sampai St. Debar. Jadi, kami balik ke St. Jakarta Kota dulu(yang ternyata merupakan pilihan yang salah karena terdapat 2 KRL kosong yang lewat selama perjalanan ke St. Jakarta Kota). Jam 20.00, kami baru berangkat dari St. Jakarta Kota. Sampai di St. Depok Baru jam 21 atau 9 malam lewat.

***

                Kemarin adalah pembuka liburan yang cukup worth banget. Thanks buat Kota Tua(dan isinya) dan Katredal serta Monas buat pengalamannya. Thanks Tio(beberapa foto di sini dari Tio), Ijal(sumber foto di sini dari kamera Ijal), Gibran, Ogy buat petualangannya. Next, Kinokuniya(abis SBM).

Source :

https://www.facebook.com/profile.php?id=100011072685525&ref=ts&fref=ts
https://www.facebook.com/arditio.riski?ref=ts&fref=ts


                

No comments: